Alkisah malam jum'at

Alkisah malam jum'at

Senin 7 Mei 2006
============
sharingan dari groupnya ulil ===>
Randy Alkalino
*Alkisah malam jum'at*
Agnes adalah sosok wanita Katolik taat.
Setiap malam, ia beserta keluarganya
rutin berdoa bersama. Bahkan, saking
taatnya, saat Agnes dilamar Martono,
kekasihnya yang beragama Islam,
dengan tegas ia mengatakan “Saya
lebih mencintai Yesus Kristus dari pada
manusia!”
Ketegasan prinsip Katolik yang
dipegang wanita itu menggoyahkan
Iman Martono yang muslim, namun
jarang melakukan ibadah sebagaimana
layaknya orang beragama Islam.
Martono pun masuk Katolik, sekedar
untuk bisa menikahi Agnes. Tepat
tanggal 17 Oktober 1982, mereka
melaksanakan pernikahan di Gereja
Ignatius, Magelang, Jawa Tengah.
Usai menikah, lalu menyelesaikan
kuliahnya di Jogjakarta, Agnes beserta
sang suami berangkat ke Bandung,
kemudian menetap di salah satu
kompleks perumahan di wilayah Timur
kota kembang. Kebahagiaan terasa
lengkap menghiasi kehidupan keluarga
ini dengan kehadiran tiga makhluk kecil
buah hati mereka, yakni: Adi, Icha dan
Rio.
Di lingkungan barunya, Agnes terlibat
aktif sebagai jemaat Gereja Suryalaya,
Buah Batu, Bandung. Demikan pula
Martono, sang suami. Selain juga aktif di
Gereja, Martono saat itu menduduki
jabatan penting, sebagaikepala Divisi
Properti PT Telkom Cisanggarung,
Bandung.
Karena Ketaatan mereka memegang
iman Katolik, pasangan ini bersama
beberapa sahabat se-iman, sengaja
mengumpulkan dana dari tetangga
sekitar yang beragama Katolik. Mereka
pun berhasil membeli sebuah rumah
yang ‘disulap’ menjadi tempat
ibadah (Gereja,red).
Uniknya, meski sudah menjadi pemeluk
ajaran Katolik, Martono tak melupakan
kedua orangtuanya yang beragama
Islam. Sebagai manifestasi bakti dan
cinta pasangan ini, mereka
memberangkatkan ayahanda dan
ibundanya Martono ke Mekkah, untuk
menunaikan rukun Islam yang kelima.
Hidup harmonis dan berkecukupan
mewarnai sekian waktu hari-hari
keluarga ini. Sampai satu ketika,
kegelisahan menggoncang keduanya.
Syahdan, saat itu, Rio, si bungsu yang
sangat mereka sayangi jatuh sakit.
Panas suhu badan yang tak kunjung
reda, membuat mereka segera
melarikan Rio ke salah satu rumah sakit
Kristen terkenal di wilayah utara
Bandung.
Di rumah sakit, usai dilakukan diagnosa,
dokter yang menangani saat itu
mengatakan bahwa Rio mengalami
kelelahan. Akan tetapi Agnes masih saja
gelisah dan takut dengan kondisi anak
kesayangannya yang tak kunjung
membaik.
Saat dipindahkan ke ruangan ICU, Rio,
yang masih terkulai lemah, meminta
Martono, sang ayah, untuk memanggil
ibundanya yang tengah berada di luar
ruangan. Martono pun keluar ruangan
untuk memberitahu Agnes ihwal
permintaan putra bungsunya itu.
Namun, Agnes tak mau masuk ke dalam.
Ia hanya mengatakan pada Martono,
”Saya sudah tahu.” Itu saja.
Martono heran. Ia pun kembali masuk
ke ruangan dengan rasa penasaran
yang masih menggelayut dalam benak.
Di dalam, Rio berucap, “Tapi udahlah,
Papah aja, tidak apa-apa. Pah hidup ini
hanya 1 centi. Di sana nggak ada
batasnya.”
Sontak, rasa takjub menyergap
Martono. Ucapan bocah mungil buah
hatinya yang tengah terbaring lemah
itu sungguh mengejutkan. Nasehat
kebaikan keluar dari mulutnya seperti
orang dewasa yang mengerti agama.
Hingga sore menjelang, Rio kembali
berujar, “Pah, Rio mau pulang!”
“Ya, kalau sudah sembuh nanti, kamu
boleh pulang sama Papa dan Mama,”
jawab Martono. “Ngga, saya mau
pulang sekarang. Papah, Mamah, Rio
tunggu di pintu surga!” begitu, ucap
Rio, setengah memaksa.
Belum hilang keterkejutan Martono,
tiba-tiba ia mendengar bisikan yang
meminta dia untuk membimbing
membacakan syahadat kepada anaknya.
Ia kaget dan bingung. Tapi perlahan Rio
dituntun sang ayah, Martono, membaca
syahadat, hingga kedua mata anak
bungsunya itu berlinang. Martono hafal
syahadat, karena sebelumnya adalah
seorang Muslim.
Tak lama setelah itu bisikan kedua
terdengar, bahwa setelah Adzan
maghrib Rio akan dipanggil sang
Pencipta. Meski tambah terkejut,
mendengar bisikan itu, Martono pasrah.
Benar saja, 27 Juli 1999, persis saat
sayup-sayup Adzan maghrib,
berkumandang Rio menghembuskan
nafas terakhirnya.
Tiba jenazah Rio di rumah duka,
peristiwa aneh lagi-lagi terjadi. Agnes
yang masih sedih waktu itu seakan
melihat Rio menghampirinya dan
berkata, “Mah saya tidak mau pakai
baju jas mau minta dibalut kain putih
aja.” Saran dari seorang pelayat
Muslim, bahwa itu adalah pertanda Rio
ingin dishalatkan sebagaimana seorang
Muslim yang baru meninggal.
Setelah melalui diskusi dan perdebatan
diantara keluarga, jenazah Rio kemudian
dibalut pakaian, celana dan sepatu yang
serba putih kemudian dishalatkan.
Namun, karena banyak pendapat dari
keluarga yang tetap harus dimakamkan
secara Katolik, jenazah Rio pun akhirnya
dimakamkan di Kerkov. Sebuah tempat
pemakaman khusus Katolik, di Cimahi,
Bandung.
Sepeninggal Rio
Sepeninggal anaknya, Agnes sering
berdiam diri. Satu hari, ia mendengar
bisikan ghaib tentang rumah dan mobil.
Bisikan itu berucap, “Rumah adalah
rumah Tuhan dan mobil adalah
kendaraan menuju Tuhan.” Pada saat
itu juga Agnes langsung teringat
ucapan mendiang Rio semasa TK dulu,
”Mah, Mbok Atik nanti mau saya
belikan rumah dan mobil!” Mbok Atik
adalah seorang muslimah yang
bertugas merawat Rio di rumah. Saat
itu Agnes menimpali celoteh si bungsu
sambil tersenyum, “Kok Mamah ga
dikasih?” “Mamah kan nanti punya
sendiri” jawab Rio, singkat.
Entah mengapa, setelah mendengar
bisikan itu, Agnes meminta suaminya
untuk mengecek ongkos haji waktu itu.
Setelah dicek, dana yang dibutuhkan Rp.
17.850.000. Dan yang lebih
mengherankan, ketika uang duka
dibuka, ternyata jumlah totalnya persis
senilai Rp 17.850.000, tidak lebih atau
kurang sesenpun. Hal ini diartikan
Agnes sebagai amanat dari Rio untuk
menghajikan Mbok Atik, wanita yang
sehari-hari merawat Rio di rumah.
Singkat cerita, di tanah suci, Mekkah,
Mbok Atik menghubungi Agnes via
telepon. Sambil menangis ia
menceritakan bahwa di Mekkah ia
bertemu Rio. Si bungsu yang baru saja
meninggalkan alam dunia itu berpesan,
“Kepergian Rio tak usah terlalu
dipikirkan. Rio sangat bahagia disini.
Kalo Mama kangen, berdoa saja.”
Namun, pesan itu tak lantas membuat
sang Ibunda tenang. Bahkan Agnes
mengalami depresi cukup berat, hingga
harus mendapatkan bimbingan dari
seorang Psikolog selama 6 bulan.
Satu malam saat tertidur, Agnes
dibangunkan oleh suara pria yang
berkata, “Buka Alquran surat
Yunus!”. Namun, setelah mencari tahu
tentang surat Yunus, tak ada seorang
pun temannya yang beragama Islam
mengerti kandungan makna di
dalamnya. Bahkan setelah mendapatkan
Alquran dari sepupunya, dan
membacanya berulang-ulang pun,
Agnes tetap tak mendapat jawaban.
“Mau Tuhan apa sih?!” protesnya
setengah berteriak, sembari menangis
tersungkur ke lantai. Dinginnya lantai
membuat hatinya berangsur tenang,
dan spontan berucap
“Astaghfirullah.” Tak lama kemudian,
akhirnya Agnes menemukan
jawabannya sendiri di surat Yunus ayat
49: “Katakan tiap-tiap umat
mempunyai ajal. Jika datang ajal, maka
mereka tidak dapat mengundurkannya
dan tidak (pula) mendahulukannya”.
Beberapa kejadian aneh yang dialami
sepeninggal Rio, membuat Agnes
berusaha mempelajari Islam lewat
beberapa buku. Hingga akhirnya wanita
penganut Katolik taat ini berkata, “Ya
Allah terimalah saya sebagai orang
Islam, saya tidak mau di-Islamkan oleh
orang lain!”.
Setelah memeluk Islam, Agnes secara
sembunyi-sembunyi melakukan shalat.
Sementara itu, Martono, suaminya,
masih rajin pergi ke gereja. Setiap kali
diajak ke gereja Agnes selalu menolak
dengan berbagai alasan.
Sampai suatu malam, Martono
terbangun karena mendengar isak
tangis seorang perempuan. Ketika
berusaha mencari sumber suara, betapa
kagetnya Martono saat melihat istri
tercintanya, Agnes, tengah bersujud
dengan menggunakan jaket, celana
panjang dan syal yang menutupi aurat
tubuhnya.
“Lho kok Mamah shalat,” tanya
Martono. “Maafkan saya, Pah. Saya
duluan, Papah saya tinggalkan,” jawab
Agnes lirih. Ia pasrah akan segala resiko
yang harus ditanggung, bahkan
perceraian sekalipun.
Martono pun Akhirnya Kembali ke Islam
Sejak keputusan sang istri memeluk
Islam, Martono seperti berada di
persimpangan. Satu hari, 17 Agustus
2000, Agnes mengantar Adi, putra
pertamanya untuk mengikuti lomba
Adzan yang diadakan panitia Agustus-
an di lingkungan tempat mereka
tinggal.
Adi sendiri tiba-tiba tertarik untuk
mengikuti lomba Adzan beberapa hari
sebelumnya, meski ia masih Katolik dan
berstatus sebagai pelajar di SMA Santa
Maria, Bandung. Martono sebetulnya
juga diajak ke arena perlombaan, namun
menolak dengan alasan harus mengikuti
upacara di kantor.
Di tempat lomba yang diikuti 33 peserta
itu, Gangsa Raharjo, Psikolog Agnes,
berpesan kepada Adi, “Niatkan suara
adzan bukan hanya untuk orang yang
ada di sekitarmu, tetapi niatkan untuk
semesta alam!” ujarnya.
Hasilnya, suara Adzan Adi yang lepas
nan merdu, mengalun syahdu,
mengundang keheningan dan
kekhusyukan siapapun yang
mendengar. Hingga bulir-bulir air mata
pun mengalir tak terbendung, basahi
pipi sang Ibunda tercinta yang larut
dalam haru dan bahagia. Tak pelak,
panitia pun menobatkan Adi sebagai
juara pertama, menyisihkan 33 peserta
lainnya.
Usai lomba Agnes dan Adi bersegera
pulang. Tiba di rumah, kejutan lain
tengah menanti mereka. Saat baru saja
membuka pintu kamar, Agnes terkejut
melihat Martono, sang suami, tengah
melaksanakan shalat. Ia pun spontan
terkulai lemah di hadapan suaminya itu.
Selesai shalat, Martono langsung meraih
sang istri dan mendekapnya erat. Sambil
berderai air mata, ia berucap lirih,
“Mah, sekarang Papah sudah masuk
Islam.”
Mengetahui hal itu, Adi dan Icha, putra-
putri mereka pun mengikuti jejak ayah
dan ibunya, memeluk Islam.
Perjalanan panjang yang sungguh
mengharu biru. Keluarga ini pun
akhirnya memulai babak baru sebagai
penganut Muslim yang taat. Hingga kini,
esok, dan sampai akhir zaman. Insya
Allah.
— bersama AffreeKupengpngend Bhagia dan 32 lainnya.

0 Response to "Alkisah malam jum'at"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel